Pages

Tuesday, March 8, 2016

Menghadapi Gerhana Matahari Total dengan Shalat Gerhana

Tentang Shalat Gerhana



Fenomena Gerhana Matahari tinggal hitungan Jam. Banyak masyarakat menunggu momen langka ini. Terutama daerah tertentu yang dilewati Gerhana Matahari Total (GMT), berbagai macam sarana untuk menyaksikan gerhana pun disiapkan.
Sebagai seorang Muslim, selain menyiapkan perangkat untuk melihat langsung fenomena tersebut, ada persiapan lain yang lebih penting untuk disiapkan, yaitu ilmu tentang bagaimana seharusnya kita menghadapi peristiwa gerhana tersebut.

Hukum Shalat Gerhana
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum shalat gerhana matahari atau bulan adalah sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang ditekankan bagi setiap kaum Muslimin. Sebagian ulama menyatakan bahwa pendapat tersebut sudah menjadi ijma’ di antara mereka. Sehingga Imam Syafi’i berkata, “Tidak boleh meninggalkan shalat gerhana, baik yang bermukim maupun mereka yang sedang melakukan safar, atau siapa saja yang mampu melaksanakannya.” (Lihat: Al-Majmu’, 5/66)

Kapan Diperintahkan untuk Shalat Gerhana?
Shalat gerhana diperintahkan ketika melihat gerhana matahari atau gerhana bulan dengan pandangan mata secara langsung (rukyah). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا، فَصَلُّوْا، وَادْعُوا اللهَ حَتَى يَكْشِفَ مَا بِكُمْ
“Maka apabila kalian melihatnya, maka lakukanlah solat dan berdoalah kepada Allah sampai hal yang menakutkan itu hilang.”(HR. Muslim)
Sehingga ketika keadaan cuaca mendung dan gerhananya tidak dapat terlihat dengan kasat mata, maka tidak diperintahkan untuk shalat. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Suatu hal yang mungkin Allah menyembunyikan penglihatan gerhana pada satu daerah, lalu menampakkannya pada daerah lain. Ada hikmah di balik itu semua. (Lihat: Majmu’ Fatawa, 16/309)
Lalu jika seseorang tidak mengetahui adanya gerhana kecuali setelah peristiwa itu berlalu, maka ia juga tidak perlu melaksanakan shalat. Karena perintah tersebut sangat terikat dengan waktu terlihatnya gerhana. Apabila gerhananya berlalu maka tidak ada lagi perintah shalat.
Kemudian shalat gerhana boleh dilakukan pada saat waktu-waktu yang dilarang mengerjakan shalat. Karena ia merupakan shalat yang memiliki sebab. Walaupun sebagian ulama memiliki pendapat yang berbeda tentang hal itu. (Lihat: Shahih Fikih Sunnah, hal: 434)

Cara Shalat Gerhana Bulan = Shalat Gerhana Matahari
Cara shalat gerhana matahari dilakukan sama seperti shalat gerhana bulan. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).” (HR. Bukhari Muslim)
Ibnu Mundzir berkata, ”Shalat gerhana bulan dilakukan sama sebagaimana shalat gerhana matahari.” (Ibnu Mundzir, Al-Iqna’, 1/124-125)
Tanpa Ada Azan dan Iqamat
Para ulama sepakat bahwa shalat gerhana matahari di dalamnya tidak dikumandangkan azan dan iqamat. Sedangkan yang disunnahkan ketika itu adalah mengucapkan Ash-Shalatul Jami’ah. Dalil mengenai hal ini ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr yang berkata, “Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah, dikumandangkan ash-shalatul jami’ah.” (HR. Bukhari Muslim)
Tata Cara Pelaksanaan Shalat Gerhana
Shalat gerhana dilakukan dua rakaat, setiap rakaat ada dua kali ruku’ dan dua kali sujud. Tata caranya disebutkan langsung secara rinci di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu:
Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya.
Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak. Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah.
kemudian beliau bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya bersabda, ”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari, no. 1044)
Ada Khutbah Setelah Shalat Gerhana
Disunnahan bagi imam untuk berkhutbah setelah melaksanakan shalat seperti khutbah shalat ‘Id. Sebagaimana hadits dari Aisyah RA, beliau menuturkan bahwa Nabi SAW setelah melaksanakan shalat beliau berdiri dan berkhutbah, setelah itu memuji kepada Allah SWT lalu bersabda:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)
Mengeraskan Suara Ketika Membaca Surat
Bacaan surat di dalam shalat gerhana matahari ialah jahriyah(mengeraskan bacaan) sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW. Ibunda Aisyah RA meriwayatkan, “Nabi SAW mengeraskan suara ketika membaca surat di dalam shalat gerhana bulan. Apabila beliau selesai bertakbir lalu melaksanakan ruku’. Dan ketika beliau bangun dari ruku’, beliau mengucapkan:
سَمِعَ اللهُ لِمَن حمِده رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ
Semoga Allah meneria pujian orang yang memuj-Nya. Rabb kami, segala puji hanyalah bagimu.”
Kemudian beliau mengulangi membaca surat lagi. Di dalam gerhana matahari, empat ruku dan empat sujud ada  di dalam dua rakaat.” (HR. Bukhari Muslim)
Imam At-Tirmidzi berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai bacaan surat di dalam shalat gerhana matahari. Sebagian mereka berpendapat bahwa bacaan surat dibaca pelan ketika melaksanakan shalat gerhana  di siang hari. Sebagian lain berpendapat tetap dikeraskan. Sebagaimana shalat ‘Id dan shalat Jum’at. Pendapat ini diungkapkan oleh Imam Malik, Ahmad dan Ishaq. Sedangkan Imam Syafi’i  berpendapat bahwa tidak perlu mengeraskan bacaan di dalam shalat gerhana matahari.” (Lihat: Sunan Tirmidzi 11/448 tahqiq Ahmad Syakir)
Dilakukan secara Berjamaah di Dalam Masjid
Shalat gerhana matahari disunnahkan untuk dilakukan di masjid. Hal ini sesuai dengan petunjuk Nabi SAW. Diantaranya adalah beliau mengumandangkan panggilan shalat gerhana dengan membaca “as-shalatul jami’ah”.
Demikian juga dengan kandungan makna dari hadits, yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mengerjakan shalat gerhana secara berjamaah di masjid. Bahkan dalam riwayat Aisyah disebutkan bahwa, “Terjadi gerhana matahari pada saat Rasulullah masih hidup. Lantas beliau keluar menuju masjid. Kemudian beliau berdiri dan bertakbir, sedangkan para sahabat membuat barisan di belakang beliau….” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar berkata, “Pendapat  tentang disyariatkannya shalat gerhana matahari secara berjamaah adalah pendapat jumhur. Apabila imam yang bertugas belum hadir, maka sebagian dari mereka bertindak sebagai imam.” (Lihat: Fathul Bari, 11/539)
Meski demikian, seseorang yang menyaksikan gerhana matahari, namun kondisinya tidak memungkinkan untuk datang menghadiri shalat jamaah di masjid, maka tidak mengapa shalat sendirian di tempat tinggalnya.
Syaikh Utsaimin menerangkan, ”Mengerjakan shalat gerhana secara berjamaah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Sesuai dengan sabda Nabi SAW,
فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا
“Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah.” (HR. Bukhari no. 1043)
Dalam hadits tersebut, Nabi SAW tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama, apalagi dilakukan di masjid.”(Lihat: Syarhul Mumthi’, 2/430)
Wanita Boleh Mengikuti Shalat Gerhana
Diriwayatkan dari Asma’ binti Abi Bakr RA, beliau berkata:
أَتَيْتُ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ أَىْ نَعَمْ
“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha—isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melakukan shalat, saya bertanya: ‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Subhanallah (Maha Suci Allah).’ Saya bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’ Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.”(HR. Bukhari)
Syaikh Abu Malik Kamal menjelaskan bahwa sesuai dengan hadits di atas, maka seorang wanita boleh ikut melaksanakan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid. Namun, jika ditakutkan akan membawa fitnah, maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah.(Lihat: Shahih Fikih Sunnah, 434-435)
Tertinggal Satu Ruku’ dalam Satu Rakaat, Haruskah Menyempurnakan?
Shalat gerhana adalah dua rakaat. Setiap rakaat terdapat dua ruku’ dan dua sujud. Jadi, secara global terdapat empat ruku dan empat sujud di dalam dua rakaat. Barangsiapa yang mendapati ruku’ kedua dalam rakaat pertama, berarti ia tertinggal satu bacaan dan satu ruku’. Berdasarkan hal ini, berarti ia belum mendapatkan satu rakaat dari dua ruku’ shalat gerhana.
Amalan yang benar, makmum yang tertinggat rakaat pertama shalat kusuf, maka rakaat tersebut tidak terhitung. Ia harus mengganti satu rakaat lagi dengan dua kali rukuk. Sebab, shalat kusuf adalah ibadah, dan ibadah itu bersifat tauqifi (harus merujuk dalil). Tata caranya harus mengacu pada nash-nash sahih.(Majalah Al-Buhûts Al-‘Ilmiyyah, 13/98, 23/93)
Oleh karena itu, rakaat ini tidak dihitung. Dengan demikian, setelah imam  mengucapkan salam maka hendaknya ia menyempurnakan satu rakaat lagi dengan dua ruku’ sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits shahih.
Demikianlah beberapa ringkasan hukum fikih seputar shalat gerhana. Semoga tulisan ini menjadi bekal dalam rangka menyambut momen datangnya gerhana matahari agar lebih bermakna.

Sumber:Kiblat.net

No comments:

Post a Comment