Tentang Shalat Gerhana
Fenomena Gerhana
Matahari tinggal hitungan Jam. Banyak masyarakat menunggu momen langka ini.
Terutama daerah tertentu yang dilewati Gerhana Matahari Total (GMT), berbagai
macam sarana untuk menyaksikan gerhana pun disiapkan.
Sebagai seorang Muslim, selain menyiapkan perangkat
untuk melihat langsung fenomena tersebut, ada persiapan lain yang lebih penting
untuk disiapkan, yaitu ilmu tentang bagaimana seharusnya kita menghadapi
peristiwa gerhana tersebut.
Hukum
Shalat Gerhana
Jumhur
ulama berpendapat bahwa hukum shalat gerhana matahari atau bulan adalah sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang ditekankan bagi
setiap kaum Muslimin. Sebagian ulama menyatakan bahwa pendapat tersebut sudah
menjadi ijma’ di antara mereka. Sehingga Imam Syafi’i berkata, “Tidak boleh
meninggalkan shalat gerhana, baik yang bermukim maupun mereka yang sedang
melakukan safar, atau siapa saja yang mampu melaksanakannya.” (Lihat: Al-Majmu’, 5/66)
Kapan Diperintahkan
untuk Shalat Gerhana?
Shalat gerhana
diperintahkan ketika melihat gerhana matahari atau gerhana bulan dengan
pandangan mata secara langsung (rukyah). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا، فَصَلُّوْا، وَادْعُوا اللهَ حَتَى
يَكْشِفَ مَا بِكُمْ
“Maka
apabila kalian melihatnya, maka lakukanlah solat dan berdoalah kepada Allah
sampai hal yang menakutkan itu hilang.”(HR.
Muslim)
Sehingga
ketika keadaan cuaca mendung dan gerhananya tidak dapat terlihat dengan kasat
mata, maka tidak diperintahkan untuk shalat. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan,
“Suatu hal yang mungkin Allah menyembunyikan penglihatan gerhana pada satu
daerah, lalu menampakkannya pada daerah lain. Ada hikmah di balik itu
semua. (Lihat: Majmu’ Fatawa, 16/309)
Lalu jika seseorang
tidak mengetahui adanya gerhana kecuali setelah peristiwa itu berlalu, maka ia
juga tidak perlu melaksanakan shalat. Karena perintah tersebut sangat terikat
dengan waktu terlihatnya gerhana. Apabila gerhananya berlalu maka tidak ada
lagi perintah shalat.
Kemudian
shalat gerhana boleh dilakukan pada saat waktu-waktu yang dilarang mengerjakan
shalat. Karena ia merupakan shalat yang memiliki sebab. Walaupun sebagian ulama
memiliki pendapat yang berbeda tentang hal itu. (Lihat:
Shahih Fikih Sunnah, hal: 434)
Cara Shalat Gerhana
Bulan = Shalat Gerhana Matahari
Cara shalat gerhana
matahari dilakukan sama seperti shalat gerhana bulan. Dalilnya adalah sabda
Nabi SAW:
“Sesungguhnya matahari
dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana
tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian
melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut
hilang (berakhir).” (HR.
Bukhari Muslim)
Ibnu
Mundzir berkata, ”Shalat gerhana bulan dilakukan sama sebagaimana shalat
gerhana matahari.” (Ibnu Mundzir, Al-Iqna’,
1/124-125)
Tanpa Ada
Azan dan Iqamat
Para
ulama sepakat bahwa shalat gerhana matahari di dalamnya tidak dikumandangkan
azan dan iqamat. Sedangkan yang disunnahkan ketika itu adalah mengucapkan Ash-Shalatul Jami’ah. Dalil mengenai hal ini ialah
hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr yang berkata, “Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah,
dikumandangkan ash-shalatul jami’ah.” (HR. Bukhari Muslim)
Tata
Cara Pelaksanaan Shalat Gerhana
Shalat gerhana
dilakukan dua rakaat, setiap rakaat ada dua kali ruku’ dan dua kali sujud. Tata
caranya disebutkan langsung secara rinci di dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari, yaitu:
Dari
Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian
beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan
memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang
sebelumnya.
Kemudian
beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari
ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut.
Pada raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas
beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.
Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan
menyanjung Allah.
kemudian beliau bersabda,
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda
kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau
lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah,
bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi
selanjutnya bersabda, ”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun
yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki
maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian
mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak
menangis.” (HR. Bukhari, no. 1044)
Ada Khutbah
Setelah Shalat Gerhana
Disunnahan bagi imam
untuk berkhutbah setelah melaksanakan shalat seperti khutbah shalat ‘Id.
Sebagaimana hadits dari Aisyah RA, beliau menuturkan bahwa Nabi SAW setelah
melaksanakan shalat beliau berdiri dan berkhutbah, setelah itu memuji kepada
Allah SWT lalu bersabda:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ
يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ
فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah.
Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang.
Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah,
kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)
Mengeraskan
Suara Ketika Membaca Surat
Bacaan
surat di dalam shalat gerhana matahari ialah jahriyah(mengeraskan
bacaan) sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW. Ibunda Aisyah RA
meriwayatkan, “Nabi SAW mengeraskan suara ketika
membaca surat di dalam shalat gerhana bulan. Apabila beliau selesai bertakbir
lalu melaksanakan ruku’. Dan ketika beliau bangun dari ruku’, beliau
mengucapkan:
سَمِعَ اللهُ لِمَن حمِده رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ
Semoga
Allah meneria pujian orang yang memuj-Nya. Rabb kami, segala puji hanyalah
bagimu.”
Kemudian
beliau mengulangi membaca surat lagi. Di dalam gerhana matahari, empat ruku dan
empat sujud ada di dalam dua rakaat.” (HR. Bukhari Muslim)
Imam
At-Tirmidzi berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai bacaan surat di dalam
shalat gerhana matahari. Sebagian mereka berpendapat bahwa bacaan surat dibaca
pelan ketika melaksanakan shalat gerhana di siang hari. Sebagian lain
berpendapat tetap dikeraskan. Sebagaimana shalat ‘Id dan shalat Jum’at.
Pendapat ini diungkapkan oleh Imam Malik, Ahmad dan Ishaq. Sedangkan Imam
Syafi’i berpendapat bahwa tidak perlu mengeraskan bacaan di dalam shalat
gerhana matahari.” (Lihat: Sunan Tirmidzi 11/448
tahqiq Ahmad Syakir)
Dilakukan
secara Berjamaah di Dalam Masjid
Shalat
gerhana matahari disunnahkan untuk dilakukan di masjid. Hal ini sesuai dengan
petunjuk Nabi SAW. Diantaranya adalah beliau mengumandangkan panggilan shalat
gerhana dengan membaca “as-shalatul jami’ah”.
Demikian
juga dengan kandungan makna dari hadits, yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW
mengerjakan shalat gerhana secara berjamaah di masjid. Bahkan dalam riwayat
Aisyah disebutkan bahwa, “Terjadi gerhana matahari pada
saat Rasulullah masih hidup. Lantas beliau keluar menuju masjid. Kemudian
beliau berdiri dan bertakbir, sedangkan para sahabat membuat barisan di
belakang beliau….” (HR. Bukhari)
Ibnu
Hajar berkata, “Pendapat tentang disyariatkannya shalat gerhana matahari
secara berjamaah adalah pendapat jumhur. Apabila imam yang bertugas belum
hadir, maka sebagian dari mereka bertindak sebagai imam.” (Lihat: Fathul Bari, 11/539)
Meski demikian,
seseorang yang menyaksikan gerhana matahari, namun kondisinya tidak
memungkinkan untuk datang menghadiri shalat jamaah di masjid, maka tidak
mengapa shalat sendirian di tempat tinggalnya.
Syaikh Utsaimin
menerangkan, ”Mengerjakan shalat gerhana secara berjamaah bukanlah syarat. Jika
seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah.
Sesuai dengan sabda Nabi SAW,
فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا
“Jika
kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah.” (HR. Bukhari no. 1043)
Dalam
hadits tersebut, Nabi SAW tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya),
shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat
gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat
tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat
tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama, apalagi dilakukan di
masjid.”(Lihat: Syarhul Mumthi’, 2/430)
Wanita
Boleh Mengikuti Shalat Gerhana
Diriwayatkan dari
Asma’ binti Abi Bakr RA, beliau berkata:
أَتَيْتُ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم
– حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ
قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى
السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ أَىْ
نَعَمْ
“Saya
mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha—isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam—ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan
shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melakukan shalat, saya bertanya:
‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya
berkata, ‘Subhanallah (Maha Suci Allah).’ Saya bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’
Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.”(HR. Bukhari)
Syaikh
Abu Malik Kamal menjelaskan bahwa sesuai dengan hadits di atas, maka seorang
wanita boleh ikut melaksanakan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid.
Namun, jika ditakutkan akan membawa fitnah, maka sebaiknya mereka shalat
sendiri di rumah.(Lihat: Shahih Fikih Sunnah, 434-435)
Tertinggal
Satu Ruku’ dalam Satu Rakaat, Haruskah Menyempurnakan?
Shalat gerhana adalah
dua rakaat. Setiap rakaat terdapat dua ruku’ dan dua sujud. Jadi, secara global
terdapat empat ruku dan empat sujud di dalam dua rakaat. Barangsiapa yang
mendapati ruku’ kedua dalam rakaat pertama, berarti ia tertinggal satu bacaan
dan satu ruku’. Berdasarkan hal ini, berarti ia belum mendapatkan satu rakaat
dari dua ruku’ shalat gerhana.
Amalan
yang benar, makmum yang tertinggat rakaat pertama shalat kusuf, maka rakaat
tersebut tidak terhitung. Ia harus mengganti satu rakaat lagi dengan dua kali
rukuk. Sebab, shalat kusuf adalah ibadah, dan ibadah itu bersifat tauqifi (harus merujuk dalil). Tata caranya harus
mengacu pada nash-nash sahih.(Majalah Al-Buhûts
Al-‘Ilmiyyah, 13/98, 23/93)
Oleh karena itu,
rakaat ini tidak dihitung. Dengan demikian, setelah imam mengucapkan
salam maka hendaknya ia menyempurnakan satu rakaat lagi dengan dua ruku’
sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits shahih.
Demikianlah beberapa
ringkasan hukum fikih seputar shalat gerhana. Semoga tulisan ini menjadi bekal
dalam rangka menyambut momen datangnya gerhana matahari agar lebih bermakna.
Sumber:Kiblat.net
No comments:
Post a Comment